Jumat, 05 Desember 2008

Mereka Terbang dengan Cinta

Hobi membuat pesawat swayasa membutuhkan kesabaran ekstratinggi. Bayarannya adalah kepuasan yang tak ternilai.
The sky has no limit. Sejak masih bocah ingusan, Djubair Oemar Djayaingin benar membuktikan kebenaran pepatah tersebut. Dan dia tidak main-main.Paling sedikit 20 pesawat ringan telah lahir dari tangannya. Semuanyasukses menjelajahi langit. "Luar biasa rasanya," katanya, "menyaksikanpesawat saya terbang ke angkasa."
Sudah lama pria ini gandrung pada pesawat swayasa alias pesawatrakitan sendiri. Pernah mencoba aneka olahraga dirgantara—gantole, paralayang,dan terjun payung—Djubair akhirnya menemukan kepuasan sejatimengarungi langit dengan pesawat swayasa. Rabu pagi pekan silam, TEMPOmenyaksikan dia beraksi di bengkel kerjanya, diJalan Citanduy, Ciputat, Jakarta Selatan. Masih liat dan bugar dalam usia 63tahun, mahir betul dia memainkan aneka peralatan untuk memotong,mengelas, dan membentuk logam baja atau lempengan seratkaca yang bakal menjadi rangka pesawat. Dengan amat telitidan jeli, dia memperhitungkan setiap sekrup, mur, dan baut. Lem perekatantarbagian dibuatnya dengan resep spesial yang hanya diketahui oleh diasendiri. "Supaya daya rekatnya terjamin,"kata Djubair.
Djubair—pensiunan sersan mayor TNI Angkatan Udara—tak punyapendidikan khusus aeronautika. "STM (sekolah teknik menengah) sajasaya tidak tamat," katanya sambil tergelak. Tapi namanya juga cinta. Dengansemangat menggebu, Djubair mencari tahu segala informasi tentang pembuatanpesawat. Hasilnya, itu tadi, pesawat buatannya selalu sukses terbang.Kualitasnya tak kalah dengan buatan jawara swayasa kelas dunia.
Pamor pesawat swayasa—biasa disebut homebuiltaircraft atau experimental aircraft—sejatinya berkilaudi berbagai belahan jagat. Di Amerika Serikat, misalnya, kini tercatat 25ribu pesawat swayasa. Angka ini bertambah seribu pesawat setiap tahun.Akhir Agustus lalu, ratusan ribu penggemar pesawat swayasa dari 68 negaraberkumpul dalam pameran Oshkosh Airventure di Oshkosh, Wisconsin. Ajangini ibarat Mekahnya penggemar pesawat swayasa.
Indonesia memang bukan peserta yang dominan dalam pameran diOshkosh itu. Tapi gairahnya menjalar hingga ke negeri ini. Di LapanganTerbang Pondok Cabe, Tangerang, misalnya, terparkir 30-an pesawat swayasaberagam ukuran. Itu belum termasuk milik penggandrung pesawat ini di Bali,Yogya, Malang, dan kota lain. Mereka tergabung dalam Persatuan OlahragaDirgantara (Pordiga) Swayasa.
Apa sesungguhnya pesawat swayasa?
Sesuai dengan namanya, pesawat jenis ini menuntut keterlibatanpemiliknya dalam hal rancang bangun. Patokannya, sesuai dengan peraturanFederal Aeronautics Administration (FAA) di AS, setidaknya 51 persen bagianpesawat harus dibuat sendiri oleh si pemilik. Jika persentasenya kurang dariitu, statusnya tak lebih dari pesawat buatan pabrik. Perjalanan membuatpesawat itu sendiri tidaklah gampang.
Djubair, misalnya, pernah berburu kayu peti kemas karenakesulitan mencari kayu spruce (sejenis pinus)yang khusus digunakan untuk pesawat swayasa di Amerika. "Mau imporjuga enggak tahu caranya," katanya. Alhasil, selama dua setengah tahun, Djubairmeneliti struktur urat dan konstruksi kayu peti kemas yang ternyata miripkayu spruce. Akhirnya, pada 1998, lahirlah KR-2, pesawat swayasa denganrangka kayu peti kemas. "Ini pesawat sayayang pertama," kata Djubair dengan bangga.
Sejak saat itu, Djubair mendapat pesanan membuat pesawat daripejabat ataupun pengusaha yang menyukai aktivitas terbang.
Dari Herudi Kartowisastro, 65 tahun, lahirlah cerita tentang serunyamerancang mesin pesawat. Mesin yang sudah jadi tersedia, tapi harganya mahal,sehingga, "Biasanya kita utak-atik mesin mobil," kata Herudi. Yang palingsering dimodifikasi adalah mesin mobil VW dan Subaru karena sistempendinginannya cocok untuk pesawat.
Nah, dengan mengutak-atik sendiri, harga pesawat swayasa bisa jauhlebih murah ketimbang buatan pabrik yang sudah besertifikat(certified aircraft). Herudi mencontohkan hargapesawat ringan Cessna, buatan Cessna Aircraft Company, yang mencapai US$ 350ribu atau sekitar Rp 3 miliar. "Aduhai mahalnya buat saya yang pensiunanpegawai negeri," kata mantan Kepala Badan Akreditasi Nasional ini. Mahalnyapesawat buatan pabrik ini pula yang memicu berkembangnya hobipesawat swayasa.
Toh, keterbatasan duit tak mengganjal cinta Herudi kepada angkasa.Pada 1986, dia membeli satu cetak biru plus material mentah pesawat—biasadisebut kit—senilai US$ 9.500. Setelah beres dirakit, pesawat ini pun laik terbangdan hingga kini masih sanggup memuaskan hasrat terbang pemiliknya. Sekarangkit serupa sudah melonjak harganya hingga US$ 19 ribu atau sekitar Rp 160juta. Angka ini kira-kira sepersepuluh harga pesawat sejenis buatan pabrik.
Hertriono Kartowisastro, 57 tahun, adik Herudi, punya kecintaanyang serupa. Presiden Direktur Apexindo (anak perusahaan Medco OilCompany) ini memiliki beberapa pesawat bikinan sendiri yang membawanyamengitari Jawa-Bali. Terbang dengan pesawat swayasa, menurut dia, tak jarangterasa mencekam. Maklum, ada unsur eksperimental dan keselamatannya belumterjamin 100 persen. "Tapi itu pengalaman yang menggairahkan," katanya,"Tak ada bahasa yang dapat menerjemahkannya."
Salah satu pengalaman mencekam adalah saat Hertrionomengemudikan pesawat swayasa Pulsar dan terpaksa mendarat di bahu Jalan TolJagorawi pada Agustus 1991. "Saat itu saya terbang di atas Cibinong. Pesawattiba-tiba bergetar hebat," kata Hertriono. Dia segera minta izin menarapengawas di Halim Perdanakusuma untuk mendarat di Jalan Tol Jagorawi. Apadaya, situasi jalan tol ketika itu sedang padat. Hertriono pun harus bermanuver,mendarat di bahu jalan. Untunglah manuvernya begitu akurat sehinggapara pengemudi mobil tidak terganggu. Bahkan majalahMatra menyebut pendaratan itu sebagai demonstrasiakurasi yang cantik.
Kini Hertriono sedang asyik merampungkan pesawat Velocity. Kitpesawat berkapasitas 4 orang ini dibeli Hertriono pada 1996 dengan harga US$ 12ribu. Semua bagiannya sudah dirakit, tapi masih ada masalahpada sistem pendinginan mesin. Walhasil, sampaisekarang, Velocity masih diparkir di Lapangan TerbangPondok Cabe.
Hertriono menegaskan, swayasa memang jauh lebih dari sekadarurusan terbang. "Kita juga harus menjagaairmanship, si-kap kesatria di udara," katanya. Artinya,tidak grasa-grusu, semua aspek keamanan mestidiperhitungkan. Itu sebabnya Hertriono takberkeberatan menunggu tujuh tahun hingga Velocity siap terbang.
Lamanya proses perakitan dan penyempurnaan menjadi tantangantersendiri bagi penggemar pesawat swayasa. Tidak sedikit penggemaryang gagal merakit dan kit pesawatnya teronggok bagai besi tua. Banyak pulayang membutuhkan 4, 8, sampai 10 tahun untuk mewujudkan sebuah pesawatyang komplet.
Ekses hobi ini pun tak tanggung-tanggung. Tak sedikit penggemarpesawat swayasa, terutama di luar negeri, yang mengakhiri perkawinannyagara-gara hobi ini. "Istri pada cemburu berat karena harus bersaing denganpesawat yang enggak kunjung beres," kata Hertriono.
Mujur bagi Hertriono, Herudi, dan Djubair. Keluarga mereka tetaputuh dan cinta kepada angkasa jalan terus.
Mardiyah Chamim, Ecep S. Yasa, Ucok Ritonga(Tempo News Room)
Empat Langkah Menuju Swayasa
Beli cetak biru dan material yang bagian-bagian pentingnya sudah dirakit. Anda tinggal meneruskan proses perakitan.
Beli cetak biru dan bahan mentahnya sekalian. Langkah ini relatif lebih mudah karena material sudah disediakan dalam ukuran yang pas dan siap dirakit.
Beli cetak biru pesawat swayasa milik orang lain. Biasanya satu cetak biru berharga US$ 250. Lalu sediakan sendiri material dan mulai merakit.
Bikin dari awal, dari menggambar cetak biru, menyediakan material, mengukur dan memotong bahan dengan teliti, sampai merakitnya hingga tuntas.

1 komentar:

BELAJAR BAHASA mengatakan...

sangat menarik hobi pesawat swayasa


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com . Powered by Blogger and Free Ebooks